Rabu, 14 Januari 2009

PESANTREN (SEJAK DULU) MODERN



Oleh: DR. Sigit Muryono, M.Pd
Penasihat Pusat Pengembangan Madrasah dan Pesantren (PPM/MDC)
Kabid. Mapendais Kanwil Depag Kalimantan Timur

Labelisasi Pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional begitu mengental di tengah-tengah masyarakat kita. Entah siapa dan sejak kapan pemberian label tersebut dimulai. Namun, bisa diperkirakan bahwa labelisasi tersebut tidak bisa dilepaskan dari konstruksi sosial-budaya dan politik kolonial (Belanda) saat itu yang begitu takut dan khawatir akan keberadaan pendidikan pesantren. Karena pesantren menjadi kekuatan yang signifikan dalam memotori berbagai tindakan perlawanan di berbagai wilayah nusantara. Rasa antipati pemerintah kolonial ini juga ditunjukkan dengan ketidakmauan pemerintah dalam menyerap pola pendidikan pesantren sebagai bagian dari penerapan kebijakan politik etis penjajah saat itu, karena dipandang tidak mengandung unsur modern. Pesantren dipandang jauh dari dunia nyata (Steenbrink, 1994).

Secara perlahan namun pasti, bahwa pesantren dikesankan tidak bisa menjamin kehidupan dan kesejahteraan masa depan para santri/siswanya. Anehnya stereotype ini dibiarkan begitu saja tanpa reserve, tanpa adanya pembelaan atau sanggahan, seolah membenarkan akan ketradisionalannya. Bahkan para alumninya pun juga ikut-ikutan meneguhkan label tersebut. Ditambah lagi, masyarakat pesantren lebih suka memilih sarung sebagai identitas kolektifnya dibanding pantalon atau dasi. Bahkan, jikalau umat Islam berpantalon dipandang ber-tasyabbuh, sehingga mereka akan disejajarkan dengan orang-orang kafir. Sehingga, lagi-lagi penampilan pesantren makin menegaskan stereotype tersebut, meskipun penampilan belum tentu menggambarkan substansi.
Akankah labelisasi yang cenderung mendeskreditkan dunia pendidikan pesantren ini akan dibiarkan begitu saja, dan pasrah dengan berharap semoga hilang tertelan jaman? Padahal jika ditelaah lebih jeli, muatan pesantren sarat dengan kemodernan, bahkan melebihi zamannya. Tulisan di bawah ini mencoba mengelaborasi sisi-sisi yang nyaris tak terungkapkan tersebut.

Pendidikan Berbasis Kompetensi ala Pesantren
Sebagaimana dinyatakan di atas, bahwa di dalam proses pembelajaran, pesantren sebenarnya telah menerapkan praktik pendidikan modern jauh melampaui zamannya. Tidak ada yang menyamai sistem pendidikan pesantren ini. Di dalamnya setidaknya dikenal beberapa model, di antaranya adalah model sorogan atau kalau di Jawa Barat dikenal dengan istilah wetonan. Dalam model ini, santri menyetor kemampuannya kepada seorang kiai atau ustadz (sebagai wakil kiai). Sehingga kiai hanya memberikan pembetulan atau mengukuhkan kebenaran kemampuan yang dicapainya. Sedangkan santri belajar secara mandiri. Pembelajaran berbasis santri, kira-kira inilah istilah yang lebih tepat, untuk menyamakan dengan istilah pembelajaran berpusat pada siswa dalam konsep pendidikan modern.
Dengan tingkat konsentrasi para kiai dalam mendidik para santrinya, maka pak kiai bisa mengenal lebih dalam pada para santrinya. Sehingga pensikapan terhadap santri satu dengan yang lainnya bisa saja beda. Kiai sebagai pengelola pesantren bertanggungjawab secara penuh atas produk yang dikeluarkannya. Sehingga kiai tidak banyak yang nyambi ’ngojek’ mencari sumber pendapatan dari pekerjaan lain. Bangunan keyakinan (tauhid) akan jaminan Allah Swt atas hamba-hamba-Nya yang rela mensyiarkan ajaran-Nya, menjadi landasan amal ikhlasnya. Sehingga mereka tidak ambil pusing persoalan kesejahteraan. Alhasil, persoalan performance (penampilan) memang tidak menjadi persoalan. Sehingga para santri tetap bisa belajar meski dengan serba keterbatasannya, dan tidak menjadikan sarana sebagai kendala yang berarti untuk mencapai tujuan. Sikap dan tindak ’Pak Kiai’ yang memahami karakteristik santri dan yang berkaitan dengannya itulah yang dalam bahasa modern dikenal dengan portopholio. Perbedaannya hanya pada bukti tulis yang bersifat administratif. Bagi Kiai, karena tidak ada motif untuk sertifikasi ataupun (pencarian) insentif (kedua-duanya bersifat materialistik), maka portopholio menjadi tidak penting untuk dituliskan. Mungkin ada benarnya pula jika tidak dituliskan, karna khawatir jika itu dilakukan para asatidz-nya akan terjebak lebih berkonsentrasi mengadministrasikan dibanding mendidik para santrinya, sebagaimana yang terjadi pada guru-guru saat ini.
Pola pendidikan model ini, hemat penulis, jauh lebih modern dibanding model pendidikan berbasis kompetensi. Ketika model Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) atau sekarang disempurnakan menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) baru dikenal dalam sistem pendidikan nasional pada tahun 2004, pesantren telah menerapkan berbasis kompetensi semenjak pesantren berdiri.
Model pembelajaran lainnya adalah bandongan yakni pembelajaran model seminar atau klassikal untuk saat ini. Perbedaannya hanya pada aspek (minat) santri. Jikalau model klasikal pendidikan modern, siswa telah menerima paket kurikulum yang disediakan oleh lembaga atau sekolah, maka di dalam model bandongan ini, santri bisa memilih pengajian yang diinginkan disesuaikan dengan kebutuhan santri, tanpa harus mempertimbangkan usia. Jadi tidak aneh jika kadang di dalam satu kelas ada santri yang kelihatan yunior bersama-sama dengan santri senior.
Pesantren hanya menyediakan ustadz-ustads yang mengajar berbagai kitab dengan disiplin ilmu yang berbeda-beda, sedangkan santri tinggal memilih hendak mengikuti pengajian yang sesuai dengan keinginannya.
Dua model pendidikan ini begitu modern, bahkan hingga kini pola itu yang diterapkan di lembaga pendidikan yang mengklaim sebagai pendidikan modern.

Pesantren dan Pembelajaran Aktif
Tujuan pendidikan harus menjangkau tiga ranah aspek pendidikan, yang dalam taksonomi Bloom dikenal tiga aspek yakni kognitif, afektif, dan psikomotorik (konatif). Ketiga aspek ini harus terjangkau oleh lembaga pendidikan. Untuk itu, penyelenggara pendidikan harus memberikan sarana prasarana yang bisa menjangkau ketiga aspek tersebut. Maka pengadaan asrama atau boarding school menjadi sebuah keniscayaan. Bahkan sarana tersebut kini menjadi barometer sekolah modern atau terpadu.
Proses pembelajaran di dalamnya dengan model pembelajaran aktive (active learning) yang dimaksudkan untuk mengoptimalkan kecerdasan majemuk (multiple intelegence), yakni; spasial-visual, linguis-verbal, intrapersonal, musikal-ritmik, natural, kinestetik (gerak), interpersonal, dan logis-matematis. Sehingga label anak cerdas tidak dinisbatkan kepada siswa yang pintar bahasa dan matematika an sich, namun semua siswa dipandang mempunyai kemampuan yang sama.
Buku tulisan Gordon Dryden dan Jeannette Vos (The Learning Revolution), Bobbi DePorter dan Mikr Hernacki (Quantum Learning), Melvin L. Silbermen tentang pembelajaran 101 model pembelajaran aktiv, dan sejenisnya menjadi rujukan utama. Lembaga semacam CTSD Yogyakarta juga meramu model tersebut dan selanjutnya menerbitkan sebuah buku yang berjudul ”Pembelajaran Aktif di Perguruan Tinggi.” Buku ini menjadi rujukan utama di perguruan tinggi. Bahkan Departemen Pendidikan Nasional dalam tahun 2001 ini meng-copy pola tersebut sehingga menelorkan produk pembelajaran yang dikenal dengan PAKEM atau PAIKEM yang merupakan kepanjangan dari Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan.
Penyelenggaraan pendidikan pesantren sejak dahulu, dengan tanpa merujuk pada referensi modern telah melahirkan model ’pembelajaran aktif’ tersendiri. Padahal pesantren adalah genuine model pendidikan hasil karya anak bangsa. Begitulah kata Cak Nur –panggilan akrab Nurcholis Madjid (alm) dan Karel Steenbrink. Pesantren terbiasa mengakomodir anak-anak yang mempunyai kecenderungan terhadap musik, dengan menerapkan model pembelajaran bersyair; melagukan bait-bait syair secara berirama. Syair-syair tersebut diterapkan mulai pada pelajaran akhlak (mahfuzhat) untuk tingkat dasar, bahasa, hingga mata pelajaran tertentu seperti ilmu nahwu dan balaghah (grammar, tata bahasa) dengan kitab pegangannya ’imrithi, matn alfiyah ibn malik, prosa (ilmu ’arudh), nazhm al-maqshud (grammatikal), dan lain sebagainya.
Apalagi kecerdasan intrapersonal yang menekankan model pembelajaran melalui meditasi atau perenungan. Di Pesantrenlah tempatnya. Sebab tradisi qiyam al-lail, muhasabah, tadarrus dan wirid adalah konsumsi keseharian. Sementara kecerdasan interpersonal dibina melalui beroragnisasi, muhadharah, dan lain sebagainya.
Jadi jika diamati lebih dalam—sekali lagi—bahwa pesantren sudah sejak lama menerapkan model pendidikan modern tersebut, tapi pesantren tidak pernah menjargonkan diri sebagai lembaga pendidikan modern.
***
Dengan model dan pola pembelajaran yang begitu variatif, dunia pesantren telah memanusiakan pada santrinya, sebelum muncul teori-teori pendidikan yang memanusiakan banyak bermunculan. Pesantren menguatkan personal skill (ketrampilan pribadinya) yang tidak terbatas pada academical skill dan vocational skill. Keduanya merupakan skill dalam arti sempit. Pendidikan pesantren jauh menjangkau itu, yakni ketrampilan personal yang meliputi kretivitas berfikir (thinking skill) dan bagaimana mempertahankan diri (self awareness) dan segala permasalahan yang akan dihadapinya di masa mendatang. Stress, depresi, dan gangguan kejiwaan adalah penyakit modern yang akan menjadi tantangan, yang—mau tidak mau—harus dipersiapkan oleh pesantren. Untuk itu, tidak ada gambaran niatan ’belajar untuk bekerja’ di benak para santri. Namun yang menguat adalah ’belajar untuk hidup dan mendewasakan cara berfikir.’ Hemat penulis, jargon yang kedua lebih kokoh dan urgen dibanding yang pertama. Dalam kasus, orang yang belajar dengan niatan bekerja, jikalau masa depannya tidak sesuai dengan impiannya, maka sang pembelajar akan terkena depressi dan stress. Lain halnya para pembelajar yang berjargon kedua. Jikalau ilmunya tidak termanfaatkan dalam kerjanya, dia akan mampu berfikir mencari alternatif lainnya. Begitulah hidupnya para santri.

Kini, Mau Kemana Pesantren?
Kecenderungan pesantren mengikuti trend—yang katanya—’modern’ adalah sebuah ironi. Banyak bermunculannya Pesantren Modern, Pesantren Terpadu, dan sejenisnya adalah bentuk ketidaktahuan atas substansi pendidikan pesantren. Masyarakat pesantren mengalami sindrome introvert, rasa minder menghadapi dunia luar. Penyakit ’masyarakat terjajah’ ini telah menular ke dalam alam pikir pesantren. Sebab label pesantren dengan ketradasionalannya ternyata menyimpan potensi kemodernan yang telah melampaui zamannya (bahkan zaman sekarang). Namun disayangkan bahwa hal itu tidak disadari oleh para pengelolanya. Mungkin karena mereka tidak begitu menganggap penting tipologi modern atau tidak modern. Namun ketika pesantren larut dalam mainstrean untuk memodernkan diri, berarti dia akan terjebak pada ranah simbolik, yang justru membahayakan bagi diri eksistensi pesantren, yang selama ini tidak begitu mementingkan aspek simbolik ini. Konsentrasinya menjadi terpecah, dari mengurusi sisi substansi menjadi mengurusi simbol saja.
Hemat penulis, pesantren perlu melakukan penguatan pertahanan agar tidak teracuni ideologi materialistik atau hal-hal yang bersifat pragmatis yang berakar dari filsafat positivistik. Nilai-nilai lama harus dikembangkan dan dikuatkan, bukan dimusnahkan atas nama modernitas. Penguatan pesantren sebagai lembaga sosial selain sebagai lembaga pendidikan menjadi sangat urgen, karena hal itu akan mempengaruhi muatan ’kurikulum’ (kurikulum diberi tanda kutip, karena ia beda dengan kurikulum yang ada di dunia pendidikan pada umumnya) di dalamnya. Apalagi jika santri diberi kemampuan untuk membaca bahwa ketidakadilan sosial sebagai pusat permasalahan. Pesantren selama ini disebut subkultur, karena ia memang menciptakan dan melahirkan kultur baru. Kultur yang berbeda dengan kultur di luarnya. Karena kultur di luar (pesantren) penuh dengan ketidakadilan yang menyatu dengan kekuasaan sehingga menjadi seolah-olah sebagai kebenaran. Baik kekuasaan di bidang politik, ilmu pengetahuan, ekonomi, ideologi dan lain sebagainya. Maka output pesantren harus mampu menyusun kekuatan pertahanan diri sendiri dengan lebih tepat dan efektif. Bahkan jika memungkinkan membuat mainstream sendiri.
Wallahu a’lamu bis shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Buku Tamu